Minggu, 04 Desember 2011

Laki-laki Menggugat

            Untuk para Puan yang tiap telapak kakinya dititipi surga oleh Tuhan.
            Puan yang begitu kucinta, saya hanya ingin berbicara dengan Puan. Empat mata. Namun, Puan saya minta cukup mendengarkan, sekali ini saja. Tolong jangan sela kata-kata saya sebelum saya berhenti bicara. Bukan karena apa-apa. Hanya saja, tidak puas rasanya jika lidah ini Puan potong dan Puan simpan di kantong kemeja.
            Saya ingin mengawali ini dengan sebuah pertanyaan, sudahkah Puan merasa sejajar dengan kami para lelaki? Jika belum, lalu mau sampai kapan? Jika sudah, lalu mau apa lagi?
            Mohon maaf sebelumnya, jika pertanyaan-pertanyaan itu dirasa terlalu kasar dan menusuk hati. Itu karena kami sebenarnya sudah terlalu lama menunggu. Menunggu Puan-Puan kembali.
            Apa Puan lupa, jika Puan, sebenarnya, diciptakan sudah sejajar dengan kami? Tolong Puan ingat-ingat kembali. Seingat saya, jauh sebelum Revolusi Industri di Inggris, jauh sebelum Hatshepsut lahir, Tuhan menciptakan Puan untuk menyeimbangkan dua sisi. Kami para lelaki terlalu kesepian jika dipaksa hidup sendirian. Ganjil. Tunggal. Berat sebelah. Menjadi sisi kanan yang pandir. Dan kemudian Tuhan menciptakan Eve, Hawa, Pandora, atau apalah itu namanya, untuk menempati sisi kiri. Membuat tidak berat sebelah lagi. Imbang. Jamak. Genap. Sempurna. Apa Puan lupa?
            Puan, jangan pernah berpikir jika menjadi sisi kiri adalah sesuatu yang hina. Bukankah kanan-kiri itu suatu hal yang nisbi? Apabila kita melihatnya dari atas, dari tempat Tuhan melihat, maka tidak jelas lagi mana yang kanan dan mana yang kiri.
            Mungkin itu yang membuat Puan-Puan punya gagasan emansipasi sampai feminisme. Mungkin pula kesetaraan gender. Puan menginginkan milik kami, tempat kami. Namun, bukankah kita sebenarnya bisa bertukar posisi? Bukankah kanan-kiri itu suatu hal yang nisbi? Apabila kita melihatnya dari atas, dari tempat Tuhan melihat, maka tidak jelas lagi mana yang kanan dan mana yang kiri.
            Saya tidak ingin mengatakan bahwa perbuatan Puan sia-sia. Bagi saya, itu bentuk kerinduan Puan terhadap kami. Naluri dasar yang selalu mengatakan bahwa kami di atas dan Puan di bawah. Saya tekankan lagi, itu salah. Kita bukan atas-bawah, melainkan kanan-kiri. Sejajar dan saling melengkapi. Ingatan purba Puan merindukan posisi awal ketika Puan diciptakan, menjadi sisi yang tepat bersebelahan dengan kami. Puan mengidam-idamkan posisi itu kembali tanpa menyadari bahwa sebenarnya Puan senantiasa ada di sisi kiri kami. Di sebelah kami, sejajar dengan kami. Tanpa pernah bergeser seincipun.
            Jika selama ini Puan merasa sebagai manusia kedua, manusia yang selalu merasa ditindas, menjadi makhluk asing di peradaban dunia, maka jangan lantas membenci kami. Untuk kemudian membalasnya dengan isu pembelaan hak-hak wanita, kesetaraan gender, yang kemudian bermuara pada feminisme, subjek-subjek pembalasan itulah yang membuat Puan terus-menerus menjadi objek. Puan menempatkan diri pada kedudukan makhluk yang lemah dan perlu dilindungi. Puan selalu merasa kurang dan terus berjuang. Tolong jangan diingkari, kalau sebenarnya Puan juga tidak tahu ujung dari perjuangan Puan. Karena bagi saya, ujung perjuangan Puan sudah terwujud ketika Puan kali pertama diciptakan.   
            Puan-Puan yang terhormat.
            Saya tidak ingin membela kaum saya. Saya tidak melarang perjuangan Puan, toh, itu sudah menjadi ciri istimewa dari Puan. Hanya saja, mohon dipikirkan ulang. Apakah Puan sudah merasa sejajar dengan kami para lelaki? Jika belum, lalu mau sampai kapan? Jika sudah, lalu mau apa lagi?   
            Saya menunggu masa dimana Puan kembali pada kodrat Puan sebagaimana awal diciptakan. Menjadi sisi penyeimbang kami, sejajar dengan kami. Laksana Hawa-Adam atau juga Pandora-Epimetheus. Kami para lelaki mencintaimu dengan setulusnya. Jangan kembali membanding-bandingkan sesuatu yang berbeda.
            Tetaplah menjadi ibu kami, istri kami, anak-anak kami, dan terutama sosok penyeimbang kami. Terima kasih karena mau mendengar gugatan ini. Kami akan tetap menunggu sampai Puan-Puan mengerti. Selamat Hari Kartini.


Sanubarianto
Surabaya, 2011

Ingat

Tujuh belas
            Tanggal 1 Ramadhan tahun ini bertepatan dengan tanggal 1 Agustus di kalender Masehi. Hal ini unik, namun tidak luar biasa. Tanggal yang bersamaan ini memudahkan kita menghitung sudah berapa hari kita berpuasa dan kurang berapa hari lebaran kita temui. Yang unik, setidaknya negara Indonesia bisa merayakan ulang tahunnya berbarengan dengan Nuzulul Qur’an. Hari ketika Al-Qur’an menyentuh dunia.
            Ketika menghadiri peringatan 17 Agustus, saya secara tidak sadar segera teringat dengan ceramah Dai Sejuta Umat, Alm. Kiai Haji Zainuddin MZ. Beliau sering mensyiarkan tiga 17 yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu 17 Agustus, 17 Ramadhan, dan 17 rakaat. Tiga elemen 17 inilah, menurut beliau, yang mampu membangun umat dan mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemakmuran. Sayang, sang Dai tidak bisa merasakan “keunikan 17” ini karena telah mendahului kita menemui Sang Khalik. Beliau aben menjadi pengingat bagi umat akan keutamaan 17 untuk bangsa Indonesia. Bolehlah kini kita telah kehilangan Dai asli Betawi tersebut, namun “sejuta umat-nya” sekarang telah memunculkan dai-dai muda yang siap menggantikan beliau sebagai pembimbing umat. Sebagai pengingat bagi rakyat Indonesia yang mulai lupa dan silap.
Televisi
             Siapa yang berani mungkir jika kondisi kita sekarang benar-benar membutuhkan sosok pengingat? Jika Anda masih kurang percaya, coba saksikan Metro TV dan TV One selepas Maghrib. Saya pastikan Anda bisa menikmati santapan berbuka sambil meratapi keadaan bangsa. Kita disuguhi drama dengan aktor utama Nazaruddin. Nazaruddin memang sedang naik daun. Kisahnya yang berbelit-belit (khas sinetron Indonesia) ditunjang dengan tampang yang lumayan menjual membuat dia mampu bersaing dengan gelontoran boyband di panggung hiburan Indonesia. Popularitasnya sedang di atas, Nazaruddin berulang kali menjadi trending topic di Twitter bergantian dengan Syahrini dan timnas Indonesia. Saking populernya, sampai-sampai presiden kita meluangkan waktu untuk berbalas surat dengan sang aktor, entah tujuannya apa. Padahal banyak surat-surat yang semestinya dibalas presiden terlebih dahulu. Surat warga Lapindo, surat masyarakat Raja Ampat, dan surat-surat kecil lainnya untuk presiden. Bukankah itu berarti Bapak Presiden kita butuh pengingat, bukankah Nazaruddin juga butuh diingatkan, bahkan masyarakat yang suratnya bertepuk sebelah tangan juga harus diingatkan untuk mencoba ikhtiar lain jika masalahnya ingin tuntas?
            Selesai segmen Nazaruddin, maka Kania Sutisnawinata atau Grace Natalie akan ganti membahas jibaku rakyat kecil yang bertaruh nyawa demi sekresek sembako atau seamplop uang yang isinya tidak pernah lebih dari seratus ribu? Klenteng Kwan Sing Bio Tuban dua hari menjadi sorotan karena peristiwa desak-desakan tersebut. Wanita-wanita tua harus sikut-sikutan dengan risiko terinjak untuk mendapatkan bahan makanan, ironisnya kita menikmati tontonan itu dari meja makan yang melimpah ruah dengan makanan.
Guru TK
            Dahulu guru TK saya selalu mengutarakan salah satu alasan kita berpuasa, selain untuk mendapat pahala, adalah untuk merasakan lapar dan haus selayaknya kaum fakir dan miskin. Mudahnya, kita dituntut berperilaku sederhana di bulan Ramadhan karena dengan laku sederhana kita bisa semakin bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah SWT.
            Tapi apa yang terjadi dengan masyarakat negara berkembang yang kita sebut Indonesia ini? Harga bahan makanan melambung tinggi hingga dua ratus persen, BBM bersubsidi mulai langka ditemui di luar pulau Jawa. Menyedihkan atau menggetirkan? Coba kita tengok omzet brand-brand pakaian ternama ketika menjelang lebaran, atau jumlah pebelanja di pusat-pusat perbelanjaan. Ironiskah? Ketika BBM langka, lonjakan permintaan kendaraan roda empat semakin mencengankan. Jalan-jalan kini dipenuhi mobil-mobil mengilat yang berbagi ruas jalan dengan sepeda fixie seharga satu juta-an ke atas. Miskinkah negara kita? Lihat saja permintaan parsel yang sedang tren tahun ini adalah parsel berlian. Parsel dengan isi perhiasan di dalamnya. Perusahaan-perusahaan pun dituntut memberikan THR bagi karyawannya. Bolehkah kita berburuk sangka dengan menganggap THR sebagai salah satu budaya penunjang kekonsumtifan di bulan Ramadhan?
            Fakir miskin, yang kata guru TK saya harus di-samarasa-i di bulan Ramadhan, tidak mungkin membeli baju baru, tidak mungkin mudik dengan mobil mewah walau sewaan, tidak mungkin memberi atau menerima parsel, atau tidak mungkin menikmati takjil beraneka ragam. Yang mungkin bagi mereka hanya berdesak-desakan, ya, hanya berdesak-desakan untuk menyambung hidup. Sudahkah kita merasa samarasa dengan para fakir miskin tadi? Sudahkah kita mengamalkan kesederhanaan di bulan Ramadhan? Sudahkah kita berdesak-desakan?
            Dua paragraf di atas saya rasai terlalu menggurui. Pertanyaan-pertanyaan di atas sepantasnya juga ditujukan kepada saya. Saya belum terlalu prihatin di bulan Ramadhan ini. Saya belum sederhana dan menjadi fakir miskin. Namun, setidaknya tulisan ini bisa menjadi sentilan pengingat. Seperti yang diterangkan di awal, bangsa ini senantiasa butuh pengingat. Tidak harus dai, aparat, atau whistle blower yang jadi pengingat, sesama kita pun bisa saling mengingatkan, bukan?
            Dan jangan merasa muak dulu melihat orang berdesakan, karena pemandangan ini masih akan kita nikmati sebagai bumbu arus mudik dan arus balik. Semoga saja para pemudik dinaungi keselamatan, semoga saja pihak Dishub dinaungi kesiapan untuk saling mengingatkan. Ditambah lagi semoga masyarakat Indonesia selalu waspada pada maling, karena maling: njupuki amale wong sing ora eling.
            Selamat Ramadhan, selamat merayakan Idul Fitri 1432 Hijriyah. Asal tetap mawas dan ingat setelah mendapatkan kemenangan.


Sanubarianto
Surabaya, 2011  






Cinta

Berita
            Saya ingin berbagi cerita dengan Anda. Kemarin, Selasa 20 September 2011, Balai Pemuda di jantung kota Surabaya terbakar.
            Saya begitu “beruntung” karena saat itu bisa melihat secara langsung peristiwa tersebut. Saya tiba di tempat kejadian selepas maghrib dan api masih berkobar, padahal bangunan tersebut sudah terbakar sesorean. Mobil-mobil pemadam kebakaran dari Surabaya dan Sidoarjo berusaha keras memadamkan api. Tapi api seakan-akan menguat dan tidak puas jika belum memanggang habis bangunan tua itu.
            Menurut laporan tim forensik Polda Jatim, untuk sementara, penyebab kebakaran tersebut adalah konsleting listrik. Hipotesis awal polisi ada colokan listrik yang tidak terpasang sempurna hingga terjadi arus pendek dan menimbulkan percikan api.
            Penyelidikan terus dilanjutkan hingga memunculkan desas-desus adanya unsur sabotase dalam peristiwa tersebut. Bagi saya itu tidak terlalu penting. Toh, Balai Pemuda Surabaya kini sudah telanjur terbakar, tidak lebih dari puing-puing yang menghitam.
Sejarah
            Kebakaran yang melanda Balai Pemuda disesalkan banyak pihak. Bukan karena material yang terbakar, namun lebih pada kandungan sejarah yang ikut lenyap di dalamnya. Bangunan itu sudah melintasi berbagai era dan menyaksikan banyak peristiwa.
            Balai Pemuda Surabaya mulai digunakan pada tahun 1907 dengan nama De Simpangsche Societeit. Bangunan ini milik suatu perkumpulan orang-orang Belanda yang menggunakannya sebaga pusat rekreasi, pesta dansa, dan arena bowling.
            Pada tahun 1945, gedung ini diambil alih oleh para pemuda Surabaya yang tergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) sekaligus markas Arek-Arek Suroboyo. Saat Belanda melancarkan agresi ke Surabaya gedung ini berhasil dikuasai kembali oleh mereka. Kemudian, ketika Belanda angkat kaki dari Indonesia, maka Balai Pemuda telah sepenuhnya menjadi milik pemuda Indonesia.
            Pada tahun 1957, setelah Pembebasan Irian Barat, gedung ini diserah-terimakan dari Penguasa Militer Provinsi Jawa Timur ke Dewan Pemerintah Kota Praja Surabaya dan resmi menyandang nama Balai Pemuda Surabaya tepat pada tanggal 12 Desember 1957. Sejak saat itu, gedung yang dipertahankan keaslian arsitekturnya sampai sebelum terbakar ini, menjadi pusat kegiatan pemuda khususnya untuk berkesenian. Meski sudah mengalami beberapa pemugaran, di antaranya pada tahun 1972 dan 1980, gedung ini tetap diakui sebagai cagar budaya yang dilindungi karena sejarah yang dilewatinya dan bentuk bangunan kunonya yang masih lestari.
 Pasrah
            Saat berada di lokasi kejadian, saya menyaksikan peristiwa yang benar-benar mengharukan. Seperti biasa, jam-jam itu merupakan jam-jam sibuk lalu lintas Surabaya. Polisi sampai harus memindah jalur kendaraan di sekitar Jalan Gubernur Suryo agar tidak menghalangi proses pemadaman, namun ruas jalan tetap saja padat merayap yang membuat mobil pemadam kebakaran susah bergerak.
            Di antara polisi-polisi yang sibuk mengatur lalu lintas, petugas pemadam yang nyaris putus asa, dan awak-awak media yang hilir mudik mengabadikan berita, ada sosok seorang wanita yang dengan mata sembab ikut mengatur lalu lintas di depan gedung yang tengah meranggas. Dia menganjurkan mobil-mobil untuk tidak memperlambat lajunya hanya untuk sekadar melihat kebakaran tadi. Dia melakukannya sambil panik dan terisak. Dialah Tri Rismaharini, wali kota Surabaya.
            Beliau mendapat kabar Balai Pemuda terbakar via telepon dan langsung menuju ke lokasi. Di sana Bu Risma marah-marah karena proses pemadaman yang berjalan begitu lamban. Dia pun ikut langsung turun tangan mengatur lalu lintas untuk memudahkan mobil pemadam masuk ke lokasi. Beliau pun hanya bisa menangis sejadi-jadinya ketika mengetahui balai itu sudah hangus.
            Mungkin bukan apa-apa jika yang melakukan hal di atas adalah seorang masyarakat yang simpati atau seorang polwan biasa. Tapi, dia walikota, orang nomor satu di Surabaya. Dia betul-betul merasakan keputusasaan kehilangan sesuatu tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap sedih ketika Balai Pemuda, salah satu simbol keantikan kotanya, direnggut darinya perlahan-lahan. Saya yang melihat dari kejauhan juga merasa ikut tidak berdaya.
Cinta
            Entah mengapa ada rasa bahagia dalam diri saya yang tiba-tiba muncul, padahal harusnya saya bersedih. Ya, saya bisa sedikit menyunggingkan senyum karena ternyata masih ada pemimpin yang benar-benar mencintai apa yang dipimpinnya. Di tengah carut-marut moral pemimpin Indonesia saya masih bisa melihat sosok teladan Bu Risma. Atau jangan-jangan karena beliau wanita sehingga lebih mengedepankan perasaan daripada logika?
            Reshuffle kabinet setidaknya menunjukkan jika sistem kita ada yang salah. Kemenpora dan Kemenakertrans kecolongan uang miliaran, pelakunya pun ternyata “orang dalam”. Anggota DPR yang ngambek karena mau diaudit, bahkan staf KPK (badan yang katanya pemberantas korupsi) pun tidak luput dari isu korupsi. Tidak adakah pemimpin Indonesia yang benar-benar mencintai apa yang dipimpinnya.
            Bangsa ini bukan Palestina yang tak kunjung merdeka. Tapi Yasser Arafat tidak kunjung menyerah, dia betul-betul tahu apa yang harus dilakukannya. Arafat tahu musuhnya adalah negara sekelas Amerika, tapi dia tidak pasrah, dia terus berjuang meski harus menunggu puluhan tahun. Dia benar-benar mencintai apa yang dipimpinnya. Andai saja presiden Indonesia bisa dipilih karena kadar cintanya pada apa yang dipimpinnya…
Pelajaran
            Semoga saja terbakarnya Balai Pemuda Surabaya tidak akan pernah terjadi di Tuban mengingat kota ini banyak memiliki bangunan cagar budaya yang tidak kalah kuno dengan Balai Pemuda. Seandainya saja Pemerintah Kabupaten Tuban mau lebih memperhatikan bangunan-bangunan kuno, di kelurahan Karangsari misalnya, agar bangunan tersebut tidak terabai dan nasibnya tidak lebih bagus dari Balai Pemuda yang terbakar. Atau harus menunggu terbakar dulu baru diperhatikan? Tidaklah, saya percaya pemimpin kabupaten ini mencintai apa yang dipimpinnya.
            Sebagai catatan, meski sudah terbakar, bangunan buatan Belanda ini masih kokoh berdiri di beberapa bagian. Bukan karena kesigapan pemadam kebakaran kita, namun lebih karena bukti cinta pemerintah Belanda terhadap apa yang dipimpinnya.


Sanubarianto
Surabaya, 2011

Jumat, 02 Desember 2011

Ini (Cerita Pendek) tentang Sumpah Pemuda

            Belanda harus menguasai tanah ini sampai kiamat. Bangsa inlander akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan.maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa yang anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.
            Kalimat-kalimat di atas diambil dari esai tulisan Rob Nieuwenhuys yang dikutip kembali oleh Budi Darma pada salah satu cerpennya yang berjudul Pohon Jejawi. Kalimat tersebut, pada dekade 1920, kali pertama dimuat di koran De Locomotief, salah satu harian terbesar di pulau Jawa. Kalimat ini menjadi begitu terkenal di kalangan pemerintah Hindia Belanda karena “membenarkan” tindakan mereka menjajah nusantara.
            Kata inlander dalam bahasa Belanda berarti pribumi, namun istilah tersebut sebenarnya lebih merujuk pada orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara yang belum mengenal peradaban dan oleh karenanya sangat primitif, biadab, malas, dan anarkis. Oleh karena itu, masyarakat inlander ini butuh pemimpin dan pembimbing dari luar masyarakat mereka.
            Apabila membaca rangkaian kalimat tersebut, maka pendudukan Belanda di nusantara bisa dibilang untuk menyelamatkan nusantara itu sendiri. Sehingga mereka mengibaratkan dirinya sebagai malaikat penyelamat. Mereka datang ke nusantara untuk “memimpin” bangsa ini dan “menjauhkannya” dari kehancuran dan kiamat.
            Masih pada dekade 1920, tepatnya pada Oktober 1928, ratusan pemuda yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Maluku, dan Nusa Tenggara berkumpul di sebuah gedung bernama Gedung Indonesische Clubgeouw di Batavia. Mereka berkumpul selama dua hari sampai berhasil merumuskan keputusan yang kemudian kita kenal dengan Sumpah Pemuda.
            Sumpah Pemuda bukanlah pernyataan perang, Sumpah Pemuda juga bukanlah strategi rahasia untuk lepas dari cengkeraman penjajah, Sumpah Pemuda ini “hanya” titik awal. Dari Sumpah Pemuda bangsa ini berasal. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, menggagas konsep suatu bangsa (nation) yang mereka namai Indonesia. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, memberi batas jelas pada nusantara mereka, bahwa nusantara mereka adalah tanah air mereka, tanah mereka bertumpah darah. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, sepakat untuk hanya menggunakan satu bahasa sebagai pemersatu mereka. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, melahirkan Indonesia.
***
            Delapan puluh tiga tahun berlalu. Saat ini kita masih bisa merasakan gegap gempita Sumpah Pemuda lewat teks buku sejarah. Kita bisa ikut merayakan gegap gempita Sumpah Pemuda di lapangan, kampus, dan sekolah-sekolah. Kita bisa ikut meragakan gegap gempita Sumpah Pemuda dengan berteriak: Saya bangsa Indonesia, dan saya sudah merdeka!
            Namun, tunggu dulu. Apakah “bangsa Indonesia” yang kita teriakkan tadi sama persis dengan “bangsa Indonesia” 83 tahun yang lalu? Apakah “bangsa Indonesia yang ada di bibir kita sesuai dengan “bangsa Indonesia” yang ada di sanubari pemuda-pemuda senasib 83 tahun yang lalu?
            Apakah bangsa Indonesia yang dimaksud Soegondo Djojopoespito adalah bangsa yang membiarkan saudara-saudaranya di Papua hidup serba kekurangan, menderita, dan merasa terpinggirkan? Sehingga “pantas saja” jika saudara muda mereka ini ingin pergi dari rumah dan memulai hidupnya sendiri.
            Apakah bangsa Indonesia yang dimaksud Mohammad Yamin adalah bangsa yang diam saja ketika wilayahnya dipersempit oleh negara tetangga? Diam saja ketika luas Kalimantan Barat dicuri sepetak demi sepetak, diam saja ketika pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara sudah bersertifikat milik orang-orang Eropa.
            Apakah bangsa Indonesia yang dimaksud oleh pemuda-pemuda senasib adalah bangsa yang tidak bangga dengan bahasanya? Bangsa yang menghancurkan bahasanya sendiri dengan mencampur-adukkan bahasa-bahasa asing ke tubuh bahasa mereka dan enggan menggunakan bahasa mereka karena mereka anggap bahasa mereka itu kampungan dan ketinggalan zaman.
***
            Teori piramida Maslow menempatkan phsycological needs di dasar piramida, kemudian self actualization di wilayah pucuk piramida. Artinya, pada awalnya manusia akan memerlukan kebutuhan batin, mencari orang-orang yang memiliki kesamaan pikiran, nasib, maupun tingkah laku untuk membentuk suatu komunitas yang erat. Celakanya, apabila tidak dikendalikan dengan daya emosional yang kuat, maka komunitas manusia yang sudah terbentuk akan mulai mencari aktualisasi diri mereka sendiri-sendiri. Jadi, mereka berkumpul karena sama-sama lemah, menguatkan satu per satu dari diri mereka, setelah kuat mereka terpencar dan mungkin tertarik untuk saling mengalahkan.
            Jangan-jangan ini yang terjadi pada bangsa Indonesia?
            Jangan-jangan pemuda-pemuda 83 tahun lalu berkumpul karena kebutuhan batin mereka memerlukan teman senasib untuk sekadar berkeluh kesah, bertukar pikiran, lalu berjuang bersama. Mereka kuat karena mereka sama-sama tertindas. Mereka kuat kaena mereka sama-sama berperut lemas. Mereka kuat karena kekayaan tanah mereka telah habis tandas. Padahal kulit mereka tidak sama, bahasa mereka jauh berbeda. Warna mata, bentuk rambut, tingkah polah kebiasaan, tidak ada yang serupa. Tapi dengan gagah berani mereka nyatakan bahwa mereka satu bangsa. Karena mereka memiliki nasib yang sama.
            Celakanya, ketika komunitas (yang bolehlah kita sebut bangsa) ini telah merdeka, telah sampai ke tujuan semula, mereka mulai lupa.
            Pemuda-pemuda senasib yang dengan gagah menyebut diri mereka satu bangsa meski begitu berbeda itu kini telah tiada. Nama-nama mereka, foto-foto mereka hanya bisa kita saksikan di buku sejarah atau ensiklopedia. Pemuda-pemuda yang dengan lantang bersumpah, bibir mereka sudah habis dimakan tanah.
            Berganti dengan pemuda-pemuda (yang celakanya) mulai mencari aktualisasi diri masing-masing. Mulai menganggap urusan pribadi paling penting. Mulai menggemukkan perut-perut mereka yang tadinya lemas sekarang mirip orang bunting.
            Berarti, kelihatannya bangsa ini memang tidak berubah. Bangsa Indonesia tetaplah bangsa Indonesia tidak peduli itu 1928, 2011, atau 2928.
            Bangsa ini tetap. Tanah air ini tetap. Bahasa ini tetap. Perbedaan hanya ada pada nasib manusia-manusia di dalamnya. Perbedaan hanya ada pada nasib manusia-manusia di atasnya. Perbedaan hanya ada pada nasib manusia-manusia pengucapnya.
            Nasib kita tidak lagi sama.
            Kita bangsa Indonesia, bertanah air Indonesia, berbahasa Indonesia, namun nasib kita tak lagi sama. Selamat “memperingati” Sumpah Pemuda.     
                Belanda harus menguasai tanah ini sampai kiamat. Bangsa inlander akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan.maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa yang anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.

Sanubarianto
Surabaya, 2011

Sejarah Kota, Kota Sejarah

Kota
            Setiap kota memiliki asal-usulnya masing-masing. Misalnya, Mekkah yang berawal dari usaha bertahan hidup Hajar dan Nabi Ismail atau Roma yang merupakan tempat pelarian pesakitan perang Troy.
            Kota pun memiliki usia. Penentu kelahirannya adalah catatan sejarah yang menyebutkan perihal kota itu. Jadi, walaupun kota itu sudah dihuni manusia sejak zaman es, tapi catatan sejarah tertulis menyebutkan kota itu baru ada setelah proklamasi kemerdekaan, maka usia yang berlaku di “akta kelahiran kota” adalah usia setelah proklamasi.
            Menurut catatan sejarah itu pula, Palembang, kota yang baru saja menjadi tuan rumah Sea Games XXVI, adalah kota tertua di Indonesia. Prasasti Kerajaan Sriwijaya menyebut kota ini sudah didirikan sejak 16 Juni 682 Masehi. Ini berarti Palembang sudah berdiri satu milenium lebih.
            Pemberlakuan “akta kelahiran kota” ini juga terjadi pada Kota Tuban. Kota ini sudah dihuni sejak abad X ketika kota ini masih wilayah Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Raja Airlangga. Namun, kota ini baru masuk dan diakui dalam lingkaran sejarah semasa Ronggolawe diangkat menjadi adipati. Oleh karena itu, hari jadi Kabupaten Tuban ditentukan sama dengan tanggal pelantikan Ronggolawe sebagai adipati Tuban, yaitu 12 November 1293.
            Untuk ukuran Indonesia, usia Kabupaten Tuban sudah sangat tua. Wilayah kapur ini sudah bernamakan Tuban selama 718 tahun. Itu berarti Tuban merupakan salah satu pusat peradaban dan kebudayaan sejarah tertua di Indonesia. Tuban sudah menjadi pelabuhan strategis bagi kerajaan Majapahit yang baru berdiri. Tuban menjadi tempat transit sekaligus tempat singgah kapal-kapal dari Guam, Persia, serta Tiongkok. Tuban menjadi salah satu komponen penting dalam merintis kejayaan Majapahit. Sekarang, mari kita bandingkan Tuban di 1293 dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Jakarta
            Jakarta di abad XII hanyalah peradaban kecil di sekitar Sungai Ciliwung. Wilayah ini dikenal dengan nama Kalapa dan masih bagian dari Kerajaan Sunda. Baru pada abad XVI wilayah ini menjadi bandar pelabuhan kecil yang kemudian disinggahi oleh Portugis.
            Portugis yang berhasrat untuk menguasai Bandar Kalapa mengerahkan kapal-kapalnya untuk menguasai pelabuhan Kalapa. Kerajaan Sunda pun mengutus Fatahillah untuk mengusir Portugis dari wilayah kekuasaannya tersebut. Dalam pertempuran yang begitu heroik tersebut, Fatahillah menang dan berhasil membuat Portugis angkat kaki dari Kerajaaan Sunda sekaligus dari Pulau Jawa. Portugis pun menyingkir ke wilayah timur nusantara. Sebagai penanda kemenangannya, Fatahillah mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 dan tanggal inilah yang menjadi acuan hari jadi kota Jakarta.
            Jakarta 1293 masihlah pemukiman kecil di sekitar sungai Ciliwung.
Bandung
            Bandung baru masuk dalam catatan sejarah sekitar abad XV. Kala itu daerah ini dikenal dengan nama Tatar Ukur. Tatar Ukur masih wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Teritori Tatar Ukur sendiri membentang di sebagian besar wilayah Jawa Barat dan dibagi lagi menjadi sembilan subwilayah. Tatar Ukur tidak pernah berhasil menjadi kerajaan yang berdiri sendiri karena setelah Kerajaan Sunda runtuh karena serangan dari Kerajaan Banten, wilayah strategis ini segera dikuasai oleh Kerajaan Sumedanglarang yang hampir menguasai seluruh Jawa bagian barat.
            Di daerah Jawa Barat dulu pada abad IV memang berdiri Kerajaan Tarumanegara, namun kerajaan ini berpusat di Bogor. Prasasti-prasasti yang ditemukan pun tidak ada yang menyebutkan kawasan yang bernama Bandung atau menunjuk secara spesifik ke wilayah Bandung, sehingga Bandung dimungkinkan masih kawasan liar dan belum berpenghuni pada masa itu. Kata “Bandung” sendiri berasal dari “bandeng”. Dalam bahasa Sunda, “ngabandeng” berarti genangan air yang luas, tenang, namun menyeramkan. Bandung zaman dahulu disinyalir merupakan sebuah danau yang begitu luas (danau ini diceritakan pula pada legenda Sangkuriang). Oleh sebab itu, dapat ditarik benang merah bahwa Bandung, sebelum menjadi Tatar Ukur, adalah sebuah danau di pulau Jawa bagian barat.
            Bandung 1293 masihlah danau tak berpenghuni.
Yogyakarta   
            Kota ini berawal dari disepakatinya Perjanjian Giyanti antara VOC dan Kerajaan Mataram pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini mengakibatkan Mataram terbelah menjadi dua, yaitu Kerajaan Surakarta dan kerajaan baru yang dipimpin oleh Aryo Mangkubumi yang kemudian bergelar.Sultan Hamengkubuwono I. Nama “Yogyakarta” sendiri berasal dari kata “Yodya” yang berasal dari nama Ayodya (kerajaan Rama dalam epos Ramayana) dan “karta” yang berarti makmur.
            Yogyakarta masa kini merupakan pusat kebudayaan Jawa, khususnya peninggalan warisan dari kerajaan Mataram. Namun, dulu ketika masih baru berdiri, Yogyakarta adalah daerah pedalaman yang belum terjamah manusia. Pusat kota Yogyakarta saat ini dulunya adalah Hutan Beringin. Sultan Hamengkubuwono I bahkan harus “babat alas” terlebih dahulu untuk mendirikan pusat pemerintahan di sana. Baru setelah pusat pemerintahan didirikan, resmi pulalah kota Yogyakarta lahir. Peristiwa itu terjadi pada 7 Oktober 1756. Melihat fakta di atas, dapat dikira-kira bahwa Yogyakarta sekarang dulunya adalah hutan beringin belaka sebelum Sultan Hamengkubuwono I mendirikan pusat pemerintahan pada abad XVII. Ini diperkuat dengan tidak adanya catatan sejarah tentang wilayah ini. Catatan sejarah tentang kerajaan Mataram pun merujuk pada wilayah Surakarta.
            Yogyakarta 1293 hanyalah sebuah hutan beringin yang belum pernah dijamah manusia.
Semarang
            Semarang memperingati hari jadinya pada 2 Mei 1547. Tanggal itu bertepatan dengan penobatan Kyai Pandan Arang sebagai adipati di sana. Beliau diangkat oleh Sultan Hadiwijaya yang berkedudukan di Pajang. Semarang berasal dari kata “asem arang-arang”, konon daerah tersebut memang banyak ditumbuhi pohon asem yang jaraknya berjauhan.
            Sebelum menjadi daerah kadipaten pada abad XV, daerah ini dulunya bernama Bergota. Bergota adalah sebuah kawasan pesisir pantai nonpelabuhan. Kawasan ini diduga juga merupakan kawasan liar sebelum kedatangan Kyai Pandan Arang. Tidak ada catatan sejarah mengenai wilayah ini sebelum abad XV. Wilayah ini mulai sedikit berkembang ketika didirikan pondok pesantren oleh Kyai Pandan Arang yang kemudian disusul dengan banyaknya pemukiman hingga pelabuhan untuk berdagang.
            Semarang 1293 hanyalah kawasan pesisir pantai biasa.
Surabaya
            Dari banyak kota besar lainnya, Surabaya memiliki catatan sejarah yang paling tua. Kota ini secara resmi menetapkan hari jadinya pada 31 Mei 1293. Penetapan ini berkenaan dengan keberhasilan Raden Wijaya mengusir tentara dari Mongol. Daerah ini pun berkembang menjadi daerah pelabuhan di era Majapahit.
            Asal nama Surabaya sendiri memiliki beberapa versi. Namun, yang banyak diakui oleh para ahli sejarah berasal dari kata “Sura ing Bhaya” yang berarti keberanian menghadapi bahaya. Asal nama ini pun merujuk pada keberhasilan Raden Wijaya. Surabaya sendiri diyakini sudah ada sejak tahun 1275 pada masa Raja Kertanegara. Kawasan pemukiman ini didirikan sebagai hadiah bagi para prajuritnya yang telah berhasil menumpas Pemberontakan Kemuruhan, hanya saja kawasan ini dulu belum bernama Surabaya, melainkan Ujung Galuh.
            Surabaya 1293 tidak jauh berbeda dengan Tuban 1293.
Tuban
            Melihat perjalanan sejarah kota ini, patutlah orang-orang Tuban berbangga hati. Kota ini adalah warisan masa silam. Kota ini memiliki nuansa sejarah yang begitu panjang. Setelah 718 tahun terlewati, Tuban yang sekarang tetaplah bersahaja. Dan kali ini Tuban dipimpin pula oleh orang-orang yang bersahaja.
            Tulisan ini membandingkan kondisi kota-kota besar di zaman dahulu dengan sekarang. Tampaklah bahwa kota-kota tersebut mengalami perkembangan pesat. Namun, bagi saya pribadi, saya memang lebih suka Tuban yang bersahaja, Tuban yang senantiasa akrab dengan segala penghuninya. Jangan jadikan Tuban sebagai kota metropolitan karena, takutnya, aroma sejarah di dalamnya bisa memudar.
            Selamat ulang tahun Kota Tuban, di tangan para pemimpin yang bersahaja ini semoga kamu tetap menjadi kota yang bersahaja.


Sanubarianto
Surabaya, 2011