Jumat, 02 Desember 2011

Ini (Cerita Pendek) tentang Sumpah Pemuda

            Belanda harus menguasai tanah ini sampai kiamat. Bangsa inlander akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan.maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa yang anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.
            Kalimat-kalimat di atas diambil dari esai tulisan Rob Nieuwenhuys yang dikutip kembali oleh Budi Darma pada salah satu cerpennya yang berjudul Pohon Jejawi. Kalimat tersebut, pada dekade 1920, kali pertama dimuat di koran De Locomotief, salah satu harian terbesar di pulau Jawa. Kalimat ini menjadi begitu terkenal di kalangan pemerintah Hindia Belanda karena “membenarkan” tindakan mereka menjajah nusantara.
            Kata inlander dalam bahasa Belanda berarti pribumi, namun istilah tersebut sebenarnya lebih merujuk pada orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara yang belum mengenal peradaban dan oleh karenanya sangat primitif, biadab, malas, dan anarkis. Oleh karena itu, masyarakat inlander ini butuh pemimpin dan pembimbing dari luar masyarakat mereka.
            Apabila membaca rangkaian kalimat tersebut, maka pendudukan Belanda di nusantara bisa dibilang untuk menyelamatkan nusantara itu sendiri. Sehingga mereka mengibaratkan dirinya sebagai malaikat penyelamat. Mereka datang ke nusantara untuk “memimpin” bangsa ini dan “menjauhkannya” dari kehancuran dan kiamat.
            Masih pada dekade 1920, tepatnya pada Oktober 1928, ratusan pemuda yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Maluku, dan Nusa Tenggara berkumpul di sebuah gedung bernama Gedung Indonesische Clubgeouw di Batavia. Mereka berkumpul selama dua hari sampai berhasil merumuskan keputusan yang kemudian kita kenal dengan Sumpah Pemuda.
            Sumpah Pemuda bukanlah pernyataan perang, Sumpah Pemuda juga bukanlah strategi rahasia untuk lepas dari cengkeraman penjajah, Sumpah Pemuda ini “hanya” titik awal. Dari Sumpah Pemuda bangsa ini berasal. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, menggagas konsep suatu bangsa (nation) yang mereka namai Indonesia. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, memberi batas jelas pada nusantara mereka, bahwa nusantara mereka adalah tanah air mereka, tanah mereka bertumpah darah. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, sepakat untuk hanya menggunakan satu bahasa sebagai pemersatu mereka. Dari Sumpah Pemuda, pemuda-pemuda yang merasa satu nasib, melahirkan Indonesia.
***
            Delapan puluh tiga tahun berlalu. Saat ini kita masih bisa merasakan gegap gempita Sumpah Pemuda lewat teks buku sejarah. Kita bisa ikut merayakan gegap gempita Sumpah Pemuda di lapangan, kampus, dan sekolah-sekolah. Kita bisa ikut meragakan gegap gempita Sumpah Pemuda dengan berteriak: Saya bangsa Indonesia, dan saya sudah merdeka!
            Namun, tunggu dulu. Apakah “bangsa Indonesia” yang kita teriakkan tadi sama persis dengan “bangsa Indonesia” 83 tahun yang lalu? Apakah “bangsa Indonesia yang ada di bibir kita sesuai dengan “bangsa Indonesia” yang ada di sanubari pemuda-pemuda senasib 83 tahun yang lalu?
            Apakah bangsa Indonesia yang dimaksud Soegondo Djojopoespito adalah bangsa yang membiarkan saudara-saudaranya di Papua hidup serba kekurangan, menderita, dan merasa terpinggirkan? Sehingga “pantas saja” jika saudara muda mereka ini ingin pergi dari rumah dan memulai hidupnya sendiri.
            Apakah bangsa Indonesia yang dimaksud Mohammad Yamin adalah bangsa yang diam saja ketika wilayahnya dipersempit oleh negara tetangga? Diam saja ketika luas Kalimantan Barat dicuri sepetak demi sepetak, diam saja ketika pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara sudah bersertifikat milik orang-orang Eropa.
            Apakah bangsa Indonesia yang dimaksud oleh pemuda-pemuda senasib adalah bangsa yang tidak bangga dengan bahasanya? Bangsa yang menghancurkan bahasanya sendiri dengan mencampur-adukkan bahasa-bahasa asing ke tubuh bahasa mereka dan enggan menggunakan bahasa mereka karena mereka anggap bahasa mereka itu kampungan dan ketinggalan zaman.
***
            Teori piramida Maslow menempatkan phsycological needs di dasar piramida, kemudian self actualization di wilayah pucuk piramida. Artinya, pada awalnya manusia akan memerlukan kebutuhan batin, mencari orang-orang yang memiliki kesamaan pikiran, nasib, maupun tingkah laku untuk membentuk suatu komunitas yang erat. Celakanya, apabila tidak dikendalikan dengan daya emosional yang kuat, maka komunitas manusia yang sudah terbentuk akan mulai mencari aktualisasi diri mereka sendiri-sendiri. Jadi, mereka berkumpul karena sama-sama lemah, menguatkan satu per satu dari diri mereka, setelah kuat mereka terpencar dan mungkin tertarik untuk saling mengalahkan.
            Jangan-jangan ini yang terjadi pada bangsa Indonesia?
            Jangan-jangan pemuda-pemuda 83 tahun lalu berkumpul karena kebutuhan batin mereka memerlukan teman senasib untuk sekadar berkeluh kesah, bertukar pikiran, lalu berjuang bersama. Mereka kuat karena mereka sama-sama tertindas. Mereka kuat kaena mereka sama-sama berperut lemas. Mereka kuat karena kekayaan tanah mereka telah habis tandas. Padahal kulit mereka tidak sama, bahasa mereka jauh berbeda. Warna mata, bentuk rambut, tingkah polah kebiasaan, tidak ada yang serupa. Tapi dengan gagah berani mereka nyatakan bahwa mereka satu bangsa. Karena mereka memiliki nasib yang sama.
            Celakanya, ketika komunitas (yang bolehlah kita sebut bangsa) ini telah merdeka, telah sampai ke tujuan semula, mereka mulai lupa.
            Pemuda-pemuda senasib yang dengan gagah menyebut diri mereka satu bangsa meski begitu berbeda itu kini telah tiada. Nama-nama mereka, foto-foto mereka hanya bisa kita saksikan di buku sejarah atau ensiklopedia. Pemuda-pemuda yang dengan lantang bersumpah, bibir mereka sudah habis dimakan tanah.
            Berganti dengan pemuda-pemuda (yang celakanya) mulai mencari aktualisasi diri masing-masing. Mulai menganggap urusan pribadi paling penting. Mulai menggemukkan perut-perut mereka yang tadinya lemas sekarang mirip orang bunting.
            Berarti, kelihatannya bangsa ini memang tidak berubah. Bangsa Indonesia tetaplah bangsa Indonesia tidak peduli itu 1928, 2011, atau 2928.
            Bangsa ini tetap. Tanah air ini tetap. Bahasa ini tetap. Perbedaan hanya ada pada nasib manusia-manusia di dalamnya. Perbedaan hanya ada pada nasib manusia-manusia di atasnya. Perbedaan hanya ada pada nasib manusia-manusia pengucapnya.
            Nasib kita tidak lagi sama.
            Kita bangsa Indonesia, bertanah air Indonesia, berbahasa Indonesia, namun nasib kita tak lagi sama. Selamat “memperingati” Sumpah Pemuda.     
                Belanda harus menguasai tanah ini sampai kiamat. Bangsa inlander akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan.maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa yang anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.

Sanubarianto
Surabaya, 2011

1 komentar: