Minggu, 04 Desember 2011

Cinta

Berita
            Saya ingin berbagi cerita dengan Anda. Kemarin, Selasa 20 September 2011, Balai Pemuda di jantung kota Surabaya terbakar.
            Saya begitu “beruntung” karena saat itu bisa melihat secara langsung peristiwa tersebut. Saya tiba di tempat kejadian selepas maghrib dan api masih berkobar, padahal bangunan tersebut sudah terbakar sesorean. Mobil-mobil pemadam kebakaran dari Surabaya dan Sidoarjo berusaha keras memadamkan api. Tapi api seakan-akan menguat dan tidak puas jika belum memanggang habis bangunan tua itu.
            Menurut laporan tim forensik Polda Jatim, untuk sementara, penyebab kebakaran tersebut adalah konsleting listrik. Hipotesis awal polisi ada colokan listrik yang tidak terpasang sempurna hingga terjadi arus pendek dan menimbulkan percikan api.
            Penyelidikan terus dilanjutkan hingga memunculkan desas-desus adanya unsur sabotase dalam peristiwa tersebut. Bagi saya itu tidak terlalu penting. Toh, Balai Pemuda Surabaya kini sudah telanjur terbakar, tidak lebih dari puing-puing yang menghitam.
Sejarah
            Kebakaran yang melanda Balai Pemuda disesalkan banyak pihak. Bukan karena material yang terbakar, namun lebih pada kandungan sejarah yang ikut lenyap di dalamnya. Bangunan itu sudah melintasi berbagai era dan menyaksikan banyak peristiwa.
            Balai Pemuda Surabaya mulai digunakan pada tahun 1907 dengan nama De Simpangsche Societeit. Bangunan ini milik suatu perkumpulan orang-orang Belanda yang menggunakannya sebaga pusat rekreasi, pesta dansa, dan arena bowling.
            Pada tahun 1945, gedung ini diambil alih oleh para pemuda Surabaya yang tergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) sekaligus markas Arek-Arek Suroboyo. Saat Belanda melancarkan agresi ke Surabaya gedung ini berhasil dikuasai kembali oleh mereka. Kemudian, ketika Belanda angkat kaki dari Indonesia, maka Balai Pemuda telah sepenuhnya menjadi milik pemuda Indonesia.
            Pada tahun 1957, setelah Pembebasan Irian Barat, gedung ini diserah-terimakan dari Penguasa Militer Provinsi Jawa Timur ke Dewan Pemerintah Kota Praja Surabaya dan resmi menyandang nama Balai Pemuda Surabaya tepat pada tanggal 12 Desember 1957. Sejak saat itu, gedung yang dipertahankan keaslian arsitekturnya sampai sebelum terbakar ini, menjadi pusat kegiatan pemuda khususnya untuk berkesenian. Meski sudah mengalami beberapa pemugaran, di antaranya pada tahun 1972 dan 1980, gedung ini tetap diakui sebagai cagar budaya yang dilindungi karena sejarah yang dilewatinya dan bentuk bangunan kunonya yang masih lestari.
 Pasrah
            Saat berada di lokasi kejadian, saya menyaksikan peristiwa yang benar-benar mengharukan. Seperti biasa, jam-jam itu merupakan jam-jam sibuk lalu lintas Surabaya. Polisi sampai harus memindah jalur kendaraan di sekitar Jalan Gubernur Suryo agar tidak menghalangi proses pemadaman, namun ruas jalan tetap saja padat merayap yang membuat mobil pemadam kebakaran susah bergerak.
            Di antara polisi-polisi yang sibuk mengatur lalu lintas, petugas pemadam yang nyaris putus asa, dan awak-awak media yang hilir mudik mengabadikan berita, ada sosok seorang wanita yang dengan mata sembab ikut mengatur lalu lintas di depan gedung yang tengah meranggas. Dia menganjurkan mobil-mobil untuk tidak memperlambat lajunya hanya untuk sekadar melihat kebakaran tadi. Dia melakukannya sambil panik dan terisak. Dialah Tri Rismaharini, wali kota Surabaya.
            Beliau mendapat kabar Balai Pemuda terbakar via telepon dan langsung menuju ke lokasi. Di sana Bu Risma marah-marah karena proses pemadaman yang berjalan begitu lamban. Dia pun ikut langsung turun tangan mengatur lalu lintas untuk memudahkan mobil pemadam masuk ke lokasi. Beliau pun hanya bisa menangis sejadi-jadinya ketika mengetahui balai itu sudah hangus.
            Mungkin bukan apa-apa jika yang melakukan hal di atas adalah seorang masyarakat yang simpati atau seorang polwan biasa. Tapi, dia walikota, orang nomor satu di Surabaya. Dia betul-betul merasakan keputusasaan kehilangan sesuatu tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap sedih ketika Balai Pemuda, salah satu simbol keantikan kotanya, direnggut darinya perlahan-lahan. Saya yang melihat dari kejauhan juga merasa ikut tidak berdaya.
Cinta
            Entah mengapa ada rasa bahagia dalam diri saya yang tiba-tiba muncul, padahal harusnya saya bersedih. Ya, saya bisa sedikit menyunggingkan senyum karena ternyata masih ada pemimpin yang benar-benar mencintai apa yang dipimpinnya. Di tengah carut-marut moral pemimpin Indonesia saya masih bisa melihat sosok teladan Bu Risma. Atau jangan-jangan karena beliau wanita sehingga lebih mengedepankan perasaan daripada logika?
            Reshuffle kabinet setidaknya menunjukkan jika sistem kita ada yang salah. Kemenpora dan Kemenakertrans kecolongan uang miliaran, pelakunya pun ternyata “orang dalam”. Anggota DPR yang ngambek karena mau diaudit, bahkan staf KPK (badan yang katanya pemberantas korupsi) pun tidak luput dari isu korupsi. Tidak adakah pemimpin Indonesia yang benar-benar mencintai apa yang dipimpinnya.
            Bangsa ini bukan Palestina yang tak kunjung merdeka. Tapi Yasser Arafat tidak kunjung menyerah, dia betul-betul tahu apa yang harus dilakukannya. Arafat tahu musuhnya adalah negara sekelas Amerika, tapi dia tidak pasrah, dia terus berjuang meski harus menunggu puluhan tahun. Dia benar-benar mencintai apa yang dipimpinnya. Andai saja presiden Indonesia bisa dipilih karena kadar cintanya pada apa yang dipimpinnya…
Pelajaran
            Semoga saja terbakarnya Balai Pemuda Surabaya tidak akan pernah terjadi di Tuban mengingat kota ini banyak memiliki bangunan cagar budaya yang tidak kalah kuno dengan Balai Pemuda. Seandainya saja Pemerintah Kabupaten Tuban mau lebih memperhatikan bangunan-bangunan kuno, di kelurahan Karangsari misalnya, agar bangunan tersebut tidak terabai dan nasibnya tidak lebih bagus dari Balai Pemuda yang terbakar. Atau harus menunggu terbakar dulu baru diperhatikan? Tidaklah, saya percaya pemimpin kabupaten ini mencintai apa yang dipimpinnya.
            Sebagai catatan, meski sudah terbakar, bangunan buatan Belanda ini masih kokoh berdiri di beberapa bagian. Bukan karena kesigapan pemadam kebakaran kita, namun lebih karena bukti cinta pemerintah Belanda terhadap apa yang dipimpinnya.


Sanubarianto
Surabaya, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar