Minggu, 04 Desember 2011

Laki-laki Menggugat

            Untuk para Puan yang tiap telapak kakinya dititipi surga oleh Tuhan.
            Puan yang begitu kucinta, saya hanya ingin berbicara dengan Puan. Empat mata. Namun, Puan saya minta cukup mendengarkan, sekali ini saja. Tolong jangan sela kata-kata saya sebelum saya berhenti bicara. Bukan karena apa-apa. Hanya saja, tidak puas rasanya jika lidah ini Puan potong dan Puan simpan di kantong kemeja.
            Saya ingin mengawali ini dengan sebuah pertanyaan, sudahkah Puan merasa sejajar dengan kami para lelaki? Jika belum, lalu mau sampai kapan? Jika sudah, lalu mau apa lagi?
            Mohon maaf sebelumnya, jika pertanyaan-pertanyaan itu dirasa terlalu kasar dan menusuk hati. Itu karena kami sebenarnya sudah terlalu lama menunggu. Menunggu Puan-Puan kembali.
            Apa Puan lupa, jika Puan, sebenarnya, diciptakan sudah sejajar dengan kami? Tolong Puan ingat-ingat kembali. Seingat saya, jauh sebelum Revolusi Industri di Inggris, jauh sebelum Hatshepsut lahir, Tuhan menciptakan Puan untuk menyeimbangkan dua sisi. Kami para lelaki terlalu kesepian jika dipaksa hidup sendirian. Ganjil. Tunggal. Berat sebelah. Menjadi sisi kanan yang pandir. Dan kemudian Tuhan menciptakan Eve, Hawa, Pandora, atau apalah itu namanya, untuk menempati sisi kiri. Membuat tidak berat sebelah lagi. Imbang. Jamak. Genap. Sempurna. Apa Puan lupa?
            Puan, jangan pernah berpikir jika menjadi sisi kiri adalah sesuatu yang hina. Bukankah kanan-kiri itu suatu hal yang nisbi? Apabila kita melihatnya dari atas, dari tempat Tuhan melihat, maka tidak jelas lagi mana yang kanan dan mana yang kiri.
            Mungkin itu yang membuat Puan-Puan punya gagasan emansipasi sampai feminisme. Mungkin pula kesetaraan gender. Puan menginginkan milik kami, tempat kami. Namun, bukankah kita sebenarnya bisa bertukar posisi? Bukankah kanan-kiri itu suatu hal yang nisbi? Apabila kita melihatnya dari atas, dari tempat Tuhan melihat, maka tidak jelas lagi mana yang kanan dan mana yang kiri.
            Saya tidak ingin mengatakan bahwa perbuatan Puan sia-sia. Bagi saya, itu bentuk kerinduan Puan terhadap kami. Naluri dasar yang selalu mengatakan bahwa kami di atas dan Puan di bawah. Saya tekankan lagi, itu salah. Kita bukan atas-bawah, melainkan kanan-kiri. Sejajar dan saling melengkapi. Ingatan purba Puan merindukan posisi awal ketika Puan diciptakan, menjadi sisi yang tepat bersebelahan dengan kami. Puan mengidam-idamkan posisi itu kembali tanpa menyadari bahwa sebenarnya Puan senantiasa ada di sisi kiri kami. Di sebelah kami, sejajar dengan kami. Tanpa pernah bergeser seincipun.
            Jika selama ini Puan merasa sebagai manusia kedua, manusia yang selalu merasa ditindas, menjadi makhluk asing di peradaban dunia, maka jangan lantas membenci kami. Untuk kemudian membalasnya dengan isu pembelaan hak-hak wanita, kesetaraan gender, yang kemudian bermuara pada feminisme, subjek-subjek pembalasan itulah yang membuat Puan terus-menerus menjadi objek. Puan menempatkan diri pada kedudukan makhluk yang lemah dan perlu dilindungi. Puan selalu merasa kurang dan terus berjuang. Tolong jangan diingkari, kalau sebenarnya Puan juga tidak tahu ujung dari perjuangan Puan. Karena bagi saya, ujung perjuangan Puan sudah terwujud ketika Puan kali pertama diciptakan.   
            Puan-Puan yang terhormat.
            Saya tidak ingin membela kaum saya. Saya tidak melarang perjuangan Puan, toh, itu sudah menjadi ciri istimewa dari Puan. Hanya saja, mohon dipikirkan ulang. Apakah Puan sudah merasa sejajar dengan kami para lelaki? Jika belum, lalu mau sampai kapan? Jika sudah, lalu mau apa lagi?   
            Saya menunggu masa dimana Puan kembali pada kodrat Puan sebagaimana awal diciptakan. Menjadi sisi penyeimbang kami, sejajar dengan kami. Laksana Hawa-Adam atau juga Pandora-Epimetheus. Kami para lelaki mencintaimu dengan setulusnya. Jangan kembali membanding-bandingkan sesuatu yang berbeda.
            Tetaplah menjadi ibu kami, istri kami, anak-anak kami, dan terutama sosok penyeimbang kami. Terima kasih karena mau mendengar gugatan ini. Kami akan tetap menunggu sampai Puan-Puan mengerti. Selamat Hari Kartini.


Sanubarianto
Surabaya, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar