Minggu, 04 Desember 2011

Ingat

Tujuh belas
            Tanggal 1 Ramadhan tahun ini bertepatan dengan tanggal 1 Agustus di kalender Masehi. Hal ini unik, namun tidak luar biasa. Tanggal yang bersamaan ini memudahkan kita menghitung sudah berapa hari kita berpuasa dan kurang berapa hari lebaran kita temui. Yang unik, setidaknya negara Indonesia bisa merayakan ulang tahunnya berbarengan dengan Nuzulul Qur’an. Hari ketika Al-Qur’an menyentuh dunia.
            Ketika menghadiri peringatan 17 Agustus, saya secara tidak sadar segera teringat dengan ceramah Dai Sejuta Umat, Alm. Kiai Haji Zainuddin MZ. Beliau sering mensyiarkan tiga 17 yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu 17 Agustus, 17 Ramadhan, dan 17 rakaat. Tiga elemen 17 inilah, menurut beliau, yang mampu membangun umat dan mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemakmuran. Sayang, sang Dai tidak bisa merasakan “keunikan 17” ini karena telah mendahului kita menemui Sang Khalik. Beliau aben menjadi pengingat bagi umat akan keutamaan 17 untuk bangsa Indonesia. Bolehlah kini kita telah kehilangan Dai asli Betawi tersebut, namun “sejuta umat-nya” sekarang telah memunculkan dai-dai muda yang siap menggantikan beliau sebagai pembimbing umat. Sebagai pengingat bagi rakyat Indonesia yang mulai lupa dan silap.
Televisi
             Siapa yang berani mungkir jika kondisi kita sekarang benar-benar membutuhkan sosok pengingat? Jika Anda masih kurang percaya, coba saksikan Metro TV dan TV One selepas Maghrib. Saya pastikan Anda bisa menikmati santapan berbuka sambil meratapi keadaan bangsa. Kita disuguhi drama dengan aktor utama Nazaruddin. Nazaruddin memang sedang naik daun. Kisahnya yang berbelit-belit (khas sinetron Indonesia) ditunjang dengan tampang yang lumayan menjual membuat dia mampu bersaing dengan gelontoran boyband di panggung hiburan Indonesia. Popularitasnya sedang di atas, Nazaruddin berulang kali menjadi trending topic di Twitter bergantian dengan Syahrini dan timnas Indonesia. Saking populernya, sampai-sampai presiden kita meluangkan waktu untuk berbalas surat dengan sang aktor, entah tujuannya apa. Padahal banyak surat-surat yang semestinya dibalas presiden terlebih dahulu. Surat warga Lapindo, surat masyarakat Raja Ampat, dan surat-surat kecil lainnya untuk presiden. Bukankah itu berarti Bapak Presiden kita butuh pengingat, bukankah Nazaruddin juga butuh diingatkan, bahkan masyarakat yang suratnya bertepuk sebelah tangan juga harus diingatkan untuk mencoba ikhtiar lain jika masalahnya ingin tuntas?
            Selesai segmen Nazaruddin, maka Kania Sutisnawinata atau Grace Natalie akan ganti membahas jibaku rakyat kecil yang bertaruh nyawa demi sekresek sembako atau seamplop uang yang isinya tidak pernah lebih dari seratus ribu? Klenteng Kwan Sing Bio Tuban dua hari menjadi sorotan karena peristiwa desak-desakan tersebut. Wanita-wanita tua harus sikut-sikutan dengan risiko terinjak untuk mendapatkan bahan makanan, ironisnya kita menikmati tontonan itu dari meja makan yang melimpah ruah dengan makanan.
Guru TK
            Dahulu guru TK saya selalu mengutarakan salah satu alasan kita berpuasa, selain untuk mendapat pahala, adalah untuk merasakan lapar dan haus selayaknya kaum fakir dan miskin. Mudahnya, kita dituntut berperilaku sederhana di bulan Ramadhan karena dengan laku sederhana kita bisa semakin bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah SWT.
            Tapi apa yang terjadi dengan masyarakat negara berkembang yang kita sebut Indonesia ini? Harga bahan makanan melambung tinggi hingga dua ratus persen, BBM bersubsidi mulai langka ditemui di luar pulau Jawa. Menyedihkan atau menggetirkan? Coba kita tengok omzet brand-brand pakaian ternama ketika menjelang lebaran, atau jumlah pebelanja di pusat-pusat perbelanjaan. Ironiskah? Ketika BBM langka, lonjakan permintaan kendaraan roda empat semakin mencengankan. Jalan-jalan kini dipenuhi mobil-mobil mengilat yang berbagi ruas jalan dengan sepeda fixie seharga satu juta-an ke atas. Miskinkah negara kita? Lihat saja permintaan parsel yang sedang tren tahun ini adalah parsel berlian. Parsel dengan isi perhiasan di dalamnya. Perusahaan-perusahaan pun dituntut memberikan THR bagi karyawannya. Bolehkah kita berburuk sangka dengan menganggap THR sebagai salah satu budaya penunjang kekonsumtifan di bulan Ramadhan?
            Fakir miskin, yang kata guru TK saya harus di-samarasa-i di bulan Ramadhan, tidak mungkin membeli baju baru, tidak mungkin mudik dengan mobil mewah walau sewaan, tidak mungkin memberi atau menerima parsel, atau tidak mungkin menikmati takjil beraneka ragam. Yang mungkin bagi mereka hanya berdesak-desakan, ya, hanya berdesak-desakan untuk menyambung hidup. Sudahkah kita merasa samarasa dengan para fakir miskin tadi? Sudahkah kita mengamalkan kesederhanaan di bulan Ramadhan? Sudahkah kita berdesak-desakan?
            Dua paragraf di atas saya rasai terlalu menggurui. Pertanyaan-pertanyaan di atas sepantasnya juga ditujukan kepada saya. Saya belum terlalu prihatin di bulan Ramadhan ini. Saya belum sederhana dan menjadi fakir miskin. Namun, setidaknya tulisan ini bisa menjadi sentilan pengingat. Seperti yang diterangkan di awal, bangsa ini senantiasa butuh pengingat. Tidak harus dai, aparat, atau whistle blower yang jadi pengingat, sesama kita pun bisa saling mengingatkan, bukan?
            Dan jangan merasa muak dulu melihat orang berdesakan, karena pemandangan ini masih akan kita nikmati sebagai bumbu arus mudik dan arus balik. Semoga saja para pemudik dinaungi keselamatan, semoga saja pihak Dishub dinaungi kesiapan untuk saling mengingatkan. Ditambah lagi semoga masyarakat Indonesia selalu waspada pada maling, karena maling: njupuki amale wong sing ora eling.
            Selamat Ramadhan, selamat merayakan Idul Fitri 1432 Hijriyah. Asal tetap mawas dan ingat setelah mendapatkan kemenangan.


Sanubarianto
Surabaya, 2011  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar